Sabtu, 24 November 2012

disiplin itu penting


Disiplin merupakan sikap kejiwaan seseorang atau sekelompok orang yang senantiasa berkehendak mengikuti atau mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Refianta 1985), sedangkan bernhardt (1969) menyatakan bahwa disiplin adalah kepatuhan yang terjadi karena adanya pengaruh faktor eksternal yang berupa tekanan dari lingkungan 1 kelompok.
Menurut sembiring (1991) menyatakan bahwa displin adalah sikap mental manusia yang mengandung kerelaan memenuhi semua bantuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menaikkan tugas dan tanggung jawab sejalan dengan pernyataan tersebut Hermawan (1989) menyatakan bahwa disiplin adalah kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang mewujudkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan keteraturan dan ketertiban.
Pelanggaran terhadap kedisiplinan dapat dikategorikan dalam perilaku menyimpang. Gordon (1976) menjelaskan bahwa perilaku bermasalah menyangkut pelanggaran diplin sekolah, seperti : (a) pelanggaran disiplin kelas, (b) pelanggaran disiplin di luar kelas, (c) membolos dan terlambat masuk kelas.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap tata tertib di sekolah sering terjadi karena kurangnya kesadaran siswa untuk berperilaku disiplin. Hal ini diperkuat oleh kurangnya pemberian penjelasan dan penanaman sikap disiplin siswa secara kontinue dan berkesinambungan. Kenyaatn di sekolah menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap disiplin hanya mendapat respon melalui punishment (hukuman) balikan dari penjelasan pada siswa untuk menumbuhkan kesadaran masih jarang dilakukan di sekolah. Di samping itu petugas khusus kedisiplinan di sekolah belum ada. Konselor yang seharusnya bertugas sebagai pembimbing dan membantu siswa merangkap sebagai petugas tata tertib. Hal inilah yang kemudian menimbulkan persepsi siswa terhadap konselor sekolah sebagai “Polisi Sekolah” padahal tugas dan peran konselor sebagai pembimbing dan membantu.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program BK banyak difokuskan pada layanan bimbingan lainnya, seperti bimbingan pribadi dan sosial belum mebdapat prioritas dan penanganan yang istensif layanan yang diberikan konselor kepada individu akan lebih tepat berdasarkan pemahaman yang tepat terhadap individu (Munandir 1996).

Kamis, 02 Agustus 2012

pembibitan


Usaha pembibitan tanaman buah-buahan adalah usaha memperbanyak tanaman buah-buahan dengan menggunakan perbanyakan secara vegetatif seperti stek, cangkok, okulasi, grafting ,dan kultur jaringan. Keuntungan perbanyakan secara vegetatif antara lain sifat tanaman yang sesuai dengan sifat tanaman induknya, mempercepat tanaman berbuah atau memperpendek masa juvenile .
Usaha pembibitan tanaman buah-buahan banyak terdapat di Indonesia, sebagai contoh Majalengka terkenal sebagai sentra produksi bibit mangga, rambutan dan jeruk, Lampung terkenal sebagai sentra produksi bibit rambutan dan Bogor terkenal sebagai sentra produksi bibit durian. Untuk Kawasan Indonesia Tengah, Bali merupakan salah satu sentra produksi bibit tanaman buah-buahan. Usaha pembibitan tanaman buah-buahan yang terus berkembang ini diharapkan dapat memenuhi permintaan perkebun buah terhadap bibit tanaman buah-buahan sehingga produksi buah meningkat dan dapat memenuhi konsumsi buah dalam negeri.
Usaha pembibitan tanaman buah-buahan di Kabupaten Buleleng berada di wilayah Kecamatan Sawan dan Kabutambahan. Usaha ini telah berkembang sejak tahun 1979 dan merupakan usaha milik perorangan serta dikelola secara sederhana. Usaha pembibitan tanaman buah-buahan di Kabupaten Buleleng dipengaruhi oleh ketersediaan air sepanjang tahun, ketersediaan pohon induk penghasil mata tempel untuk batang atas dan ketersediaan biji untuk batang bawah. Irigasi di wilayah ini menggunakan sistem subak sehingga memungkinkan air tersedia sepanjang tahun. Pada wilayah ini pohon induk penghasil mata tempel yang tersedia adalah durian Kani, mangga Arumanis dan Lalijiwa, rambutan Binjai, Lebak Bulus dan Rapiah.

dampakkonversi lahan


Dampak negatif akibat konversi lahan sawah merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Sampai saat ini memang belum ada suatu penelitian yang secara komprehensif mengkaji persoalan ini. Tak dapat diingkari bahwa untuk wilayah tropis maka fungsi sawah pada musim penghujan bukan sekedar lahan yang dipergunakan untuk budi daya padi, tetapi juga merupakan hamparan yang efektif untuk menampung kelebihan air limpasan. Secara teknis, areal persawahan telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga sebagian dari air limpasan tertampung di areal persawahan dengan tinggi genangan yang tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman padi (Sumaryanto dkk, 1995). 
Dilihat dari sudut pandang sosial ekonomi, konversi lahan sawah yang terjadi pada suatu hamparan yang cukup luas dengan sendirinya mengubah struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat. Sudah barang tentu sebagian dari mereka justru mengalami perbaikan kesejahteraan, terutama bagi pemilik lahan yang sejak semula merupakan bagian dari lapisan atas penduduk setempat. Untuk golongan bawah (terutama buruh tani) yang terjadi adalah sebaliknya. Sebagian besar dari mereka tidak dapat secara otomatis beralih pekerjaan atau usaha ke sektor nonpertanian sehingga yang terjadi kemudian adalah kondisi semakin sempitnya peluang usaha yang mereka hadapi.

Jumat, 27 Juli 2012

pola-pola konversi lahan


Menurut Irawan (2005) menyatakan konnversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan non pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : a) keterbatasan sumberdaya lahan, b) pertumbuhan penduduk, dan c) pertumbuhan ekonomi.
Sihaloho (2004) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com, membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:
1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
2. Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.
6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk ; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
Konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan. (Irawan, 2005)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konversi lahan adalah berubahnya pengunaan lahan dari pengunaan semula, misalnya dari lahan pertanian dikonversikan menjadi permukiman, dari hutan dikonversikan menjadi lahan pertanian, perkebunan atau yang lainnya.

Faktor Penyebab Konversi Lahan Sawah


Faktor Penyebab Konversi Lahan Sawah
Ditinjau menurut prosesnya, konversi lahan sawah dapat pula terjadi: (a) secara gradual, (b) seketika (instant). Alih fungsi secara gradual lazimnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Alih fungsi secara instant pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri (Sumaryanto dkk, 1995).
Menurut Pasandaran (2006) dalam Lestari (2009) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu:
1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air
2. Dinamika pembangunan
3. Peningkatan jumlah penduduk
Menurut Irawan (2005) menyatakan konnversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan non-pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : a) keterbatasan sumberdaya lahan, b) pertumbuhan penduduk, dan c) pertumbuhan ekonomi.
c) Dampak Konversi lahan Sawah
Dampak negatif akibat konversi lahan sawah merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Sampai saat ini memang belum ada suatu penelitian yang secara komprehensif mengkaji persoalan ini. Tak dapat diingkari bahwa untuk wilayah tropis maka fungsi sawah pada musim penghujan bukan sekedar lahan yang dipergunakan untuk budi daya padi, tetapi juga merupakan hamparan yang efektif untuk menampung kelebihan air limpasan. Secara teknis, areal persawahan telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga sebagian dari air limpasan tertampung di areal persawahan dengan tinggi genangan yang tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman padi (Sumaryanto dkk, 1995).
Dilihat dari sudut pandang sosial ekonomi, konversi lahan sawah yang terjadi pada suatu hamparan yang cukup luas dengan sendirinya mengubah struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat. Sudah barang tentu sebagian dari mereka justru mengalami perbaikan kesejahteraan, terutama bagi pemilik lahan yang sejak semula merupakan bagian dari lapisan atas penduduk setempat. Untuk golongan bawah (terutama buruh tani) yang terjadi adalah sebaliknya. Sebagian besar dari mereka tidak dapat secara otomatis beralih pekerjaan atau usaha ke sektor nonpertanian sehingga yang terjadi kemudian adalah kondisi semakin sempitnya peluang usaha yang mereka hadapi.

cara pembibit tanaman buah-buahan


Penyambungan Bibit
Menurut Bernardinus (2006: 30),  penyambungan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu sambung pucuk dan okulasi.
a). Sambung pucuk
Sambung pucuk merupakan penyatuan pucuk (batang atas) dengan batang bawah sehingga terbentuk tanaman baru yang cocok secara kompleks. Teknik sambung pucuk ini membutuhkan peralatan seperti alat pemotong (silet, cutter, atau pisau khusus untuk okulasi) plastik, tali raffia atau tali plastik. Tahapan penyambungan sebagai berikut:
1.      Batang bawah yang sudah siap disambung dipotong kira-kira 20 cm dari leher akar atau lebih kurang sekitar 2-3 cm di atas batang yangbberwarna hijau dan coklat. Permukaan batang yang telah dipotong ini kemudian dibelah menjadi dua, setiap bagian sama besarnya. Panjang belahan sekitar 2 – 5 cm.
2.      Batang atas yang akan disambungkan berupa pucuk cabang yang masih lengkap dengan kuncupnya dan dalam keadaan paling tua. Besar cabang yang digunakan harus sama besar dengan batang bawah dan dipotong sepanjang 2 – 3 ruas. Selanjutnya, daun-daun di batang atas ini dibuang dan disisakan tiga helai yang terletak paling ujung. Sisa daun paling ujung ini dipotong dan disisakan seperempatnya saja. Pangkal batang kemudian diiris miring di kedua sisinya sampai mengenai bagian kayunya.
3.      Batang atas yang sudah dipotong miring tadi disisipkan ke dalam belahan di ujung batang bawah. Kemudian, sambungan tadi diikat dengan tali rafia dan dikerudungi dengan plastik.
b) Okulasi
Okulasi adalah penempelan mata tunas dari pohon induk durian terpilih ke batang bawah yang sudah disiapkan. Untuk okulasi peralatan dan batang bawah yang digunakan sama dengan peralatan dan batang bawah pada sambung pucuk. Perbedaannya batang bawah pada okulasi harus sudah berumur lebih kurang 15 bulan. Tahap pelaksanaan okulasi antara lain:
1.   Pilih batang bawah yang sudah berumur kurang lebih 15 bulan dan dalam keadaan sehat. Kurang lebih 20 cm dari pangkal batang dibuat irisan yang berbentuk huruf T atau disayat sepanjang lebih kurang 2 cm.
2.      Mata tunas yang terpilih disayat dengan bentuk bulat atau persegi dengan panjang kurang lebih 1,5 cm mengelilingi mata tunas. Dalam pengambilan mata tunas ini harus diikutsertakan kambiunnya. Sebab, bila mata tunas yang diambil tidak ada kambiumnya bisa dipastikan okulasi yang dikerjakan gagal.
3.      Mata tunas yang sudah diperoleh disisipkan di bawah kulit batang pokok yang telah diiris. Dalam penyisipan atau penempelan mata tunas tidak boleh terkena kotoran pada kambiumnya karena dapat mengganggu penyatuan antara mata tunas dan batang pokok.
4.      Selanjutnya dilakukan pengikatan pada batang dengan tali plastik. Pengikatan ini dilakukan di seluruh batang yang telah disayat kecuali tepat di mata tunas.
Dalam waktu dua minggu keberhasilan sambung pucuk dan okulasi sudah dapat dilihat yaitu pada mata tunas masih berwarna hijau dengan ujung kemerahan dan memperlihatkan tanda-tanda perkembangan tunas. Sedangkan pada sambung pucuk dan okulasi yang gagal akan terlihat mata tunas yang telah kering. Pada bibit yang diokulasi, yang mata tunasnya sudah tumbuh, batang atas tanaman asli dipotong lebih kurang 1 cm di atas mata tunas. Bekas potongannya diolesi dengan fungisida untuk mencegah penyakit jamur (Bernardinus, 2006: 34).
Selama dalam proses penyambungan atau penempelan tersebut tanaman harus secara kontinu disiram. Setelah tunas atau sambungan tadi mengeluarkan daun baru dan subur, diberikan pupuk, bisa menggunakan pupuk NPK atau pupuk daun. Pada umur 8 – 10 bulan sejak penempelan tanama durian sudah bisa dipindahkan ke areal penanaman (Bernardinus, 2006: 34).
1.      Pendapatan
               Menurut Kartasapoetra (1989 : 18) mengatakan bahwa pendapatan merupakan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan setiap tahunnya yang dapat diukur dengan uang dan masih merupakan pendapatan kotor. Setelah dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan barulah disebut denan pendapatan bersih.
Menurut Winardi 2003 menyatakan bahwa pada dasarnya pendapatan dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu :
a)      Upah (wage) yang diterima oleh pemilik faktor produksi tenaga kerja.
b)      Sewa (rent) yang diterima oleh pemilik faktor produksi alam (tanah).
c)      Bunga (interst) yang diterima oleh pemilik modal.
d)     Laba (profit) yang berupa pendatan yang diterima pemilik faktor (skill).