Rabu, 25 Juli 2012

Sistem Irigasi Subak di Desa Jagaraga


Sistem Irigasi Subak di Desa Jagaraga
            Subak di desa jagaraga yang kondisi elemen-elemennya sangat kurang baik untuk ditransformasi, mungkin karena harapan ideal dari petani di subak tersebut  jauh dari kenyataan yang kini dihadapi, dan elemen-elemennya yang mungkin tidak utuh lagi. Namun, hasil analisis kiranya dapat dikatakan sebagai suatu pembuktikan bahwa  secara umum  sistem subak di Bali meskipun dengan kondisi yang berbeda, ternyata memiliki kemampuan yang cukup baik untuk ditransformasi. Nilai transformasi pada dasarnya menunjukkan prosentase kemampuan elemen-elemen subak yang bersangkutan untuk ditransformasi. Makin besar nilai transformasinya, maka ada kecendrungan semakin besar kemampuan elemen-elemen subak tersebut untuk ditransformasi. Demikian pula sebaliknya. Melihat nilai transformasi di atas, anggota subak tampaknya cendrung telah merasakan bahwa harapan ideal dari sistem subak sudah mirip dari kenyataan yang kini dirasakan, dan elemen-elemennya masih cukup baik. Hal ini berarti bahwa sistem subak yang bersangkutan sudah dapat memberikan pelayanan secara adil, dan mereka merasakan adanya rasa bahagia dan sejahtera sesuai dengan prinsip THK.
 Adil adalah suatu keadaan, pada saat mana seseorang telah menerima, apa-apa yang seharusnya mereka terima. Dalam teori Jasso (Borgotta dan Borgotta, l992) disebutkan bahwa adil adalah selisih antara apa yang harus diterima oleh seseorang dengan apa yang telah diterima oleh seseorang, adalah sama dengan nol. Ditambahkan pula bahwa adil adalah suatu keadaan, pada saat  mana setiap individu dengan berbagai latar belakang atau dari berbagai grup social yang berbeda, mendapat kesempatan yang sama untuk meraih suatu dampak tertentu. Rasa adil yang ditemukan dalam sistem subak, khususnya dalam subak sampel dicirikan pula dengan relatif tidak pernah adanya konflik dalam subak yang bersangkutan, meskipun misalnya di Kabupaten Buleleng bangunan-bagi di jaringan tersier dibuat dari batu-batu kali. Kondisi itu terjadi antara lain karena:
1.      Adanya  kondisi  one inlet and outlet sistem  pada setiap komplek pemilikan sawah petani anggota subak.   
2.      Adanya kebiasaan saling pinjam-meminjam air antar anggota subak, dan bahkan antar subak yang berkait.
3.       Bila dirasakan kondisi air irigasi semakin terbatas, maka ada  kebiasaan di kalangan subak untuk membagi wilayahnya menjadi wilayah pertanaman hulu-hilir (seperti halnya di Subak Desa Jagaraga Kabupaten Buleleng), atau bahkan ada subak yang membagi wilayah pertanaman di areal subaknya menjadi hulu-tengah-hilir. Tentang kapankah saatnya petani yang wilayahnya berada lebih di hilir boleh menanam padi, ditentukan berdasarkan kesepakatan anggota subak yang bersangkutan.
4.      Karena adanya sistem pura pada setiap subak, sehingga petani dalam aktivitasnya harus bersikap baik (toleran) dengan sesamanya, agar perbuatannya disaksikan oleh para Dewa sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa, agar nanti dalam kehidupan di alam baka mendapat hasil perbuatan yang baik, sesuai dengan konsep  karma-phala (hasil perbuatan) yang dianut oleh masyarakat Hindu di Bali. Geertz (l972) menyatakan pula bahwa adanya pura (Pura Bedugul) pada setiap subak di Bali dapat memperkuat rasa persatuan di kalangan subak yang bersangkutan. 

Sementara itu, untuk menimbulkan  rasa adil dalam pengelolaan irigasi bagi anggota subak, maka di Subak Desa Jagaraga Kabupaten Buleleng, telah diadakan perubahan dalam standar perhitungan sistem ayahan. Sebelum Tahun l984, setiap lahan sawah yang dimiliki petani seluas 40 are harus mengeluarkan tenaga kerja sebanyak satu 10 ayahan pada setiap aktivitas subak yang bersangkutan. Namun, karena adanya perkembangan keadaan, khususnya berkait dengan proses fragmentasi hak pemilikan lahan (karena adanya proses pewarisan, jual-beli, dan lain-lain), maka sejak tahun l984 disepakati bahwa standard perhitungan untuk satu ayahan adalah seluas 20 are. Jadi, saat ini setiap petani yang memiliki lahan seluas 20 are harus memberikan kontribusi tenaga kerja sebanyak satu  ayahan (satu unit/satu orang) pada setiap aktivitas subak yang bersangkutan. Bila petani yang memiliki lahan lebih dari 20 are, dan mereka tidak mampu memberikan  kontribusi berupa tenaga kerja, maka ia dikenakan kontribusi berupa natura sebanyak 2,5 kg gabah (kering panen) per 10 are per panen. Kondisi kontribusi natura ini dikenal dengan istilah pengampel-nyeke. Artinya, petani masih harus membayar iuran pengampel, meski ia aktif sebagai anggota subak (menjadi anggota seke/nyeke). 
Selanjutnya, kalau seandainya petani memiliki lahan kurang dari 20 are, maka ia berhak untuk menjadi anggota tidak aktif dalam subak itu, namun harus membayar kontribusi berupa natura sebanyak 10 kg gabah (kering panen) per l0 are per panen. Kondisi seperti ini disebut dengan istilah  pengampel. Patut kiranya dinyatakan di sini, bahwa tingkat besarnya peluang sistem subak ditransformasi menunjukkan pula tingkat kemampuan suatu sistem yang menggunakan hampiran integratif sosio-kultural untuk mengatasi  masalah-masalah yang muncul seirama dengan perkembangan teknologi, serta menunjukkan pula tingkat kemampuan teknologinya  untuk mengadaptasi dinamika perkembangan sektor pertanian yang semakin komplek seirama dengan dinamika kehidupan petani. Sebab, kalau kedua hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka sistem subak tentu tidak dapat ditransformasikan.
Meskipun sistem subak secara umum adalah cukup baik untuk ditransformasi, namun hal itu tentunya tidak mudah dilaksanakan. Beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dalam melakukan proses itu antara lain adalah :
(1). Di kawasan itu harus ada air yang dapat dimanfaatkan untuk irigasi . Air adalah kebutuhan pokok dalam proses pembentukan sistem subak. Kenyataan di Bali menunjukkan bahwa kalau memang ada air yang dapat dimanfaatkan untuk irigasi, maka petani akan  berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan dan memanfaatkannya. Bahkan dengan membuat bendung dan trowongan yang panjangnya berkilo-kilo meter. Kasus seperti ini pernah tercatat kejadiannya di   kawasan Subak Timbul Baru , Kecematan Tegallang, Kabupaten Gianyar, dan di kawasan Subak Sungsang, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.
(2). Di kawasan itu harus ada lahan yang miring, sehingga dapat dibuat sawah yang bertingkat. Umumnya lokasi subak di Bali adalah miring, sehingga mereka mampu mengelola air irigasi dengan baik, antara lain dengan membangun sistem suplesi dan drainasi pada setiap blok sawah milik petani (mengembangkan sistem one inlet and one outlet) atau bahkan sistem suplesi dan drainasi antar subak.
 (3). Memperhatikan dengan cermat elemen-elemen matrik, khususnya elemen yang dominan, sesuai dengan hasil analisa Fuzzy Set Theory dari masing-masing subak sampel.Sebab, dominansi elemen-elemen pada setiap sistem subak, pada dasarnya harus diterima oleh masyarakat di kawasan mana subak yang bersangkutan akan ditransformasikan. Kalau elemen-elemen yang dianggap dominan, tidak sesuai dan tidak dapat diterima oleh suatu kelompok masyarakat tertentu, maka tentu akan sangat sulit untuk mentransformasikan sistem subak kepada masyarakat tersebut. Sementara itu, kesulitan yang tampaknya cendrung muncul dalam proses pembentukan sistem subak, antara adalah :
a.        Aspek pola-pikir sosio kultural masyarakat setempat, yang mungkin sulit untuk dapat mengkaitkan eksistensi suatu sistem irigasi dengan  kondisi sosio-kultural yang bersifat religius. Padahal persoalan ini adalah merupakan faktor penting dalam proses pengelolaan sistem subak tersebut.
b.       Aspek sosial , yang berkait dengan kesediaan masyarakat setempat untuk membentuk sebuah organisasi sosial yang memiliki aturan tertulis yang rumit, dan sekaligus memiliki landasan  nilai-nilai agama.
c.       Aspek kebendaan, khususnya yang berkait dengan pembangunan jaringan irigasi yang memiliki sistem  one inlet and one outlet  pada setiap blok/komplek pemilikan sawah petani, serta adanya sistem drainasi yang mengkaitkan antar sistem irigasi di kawasan itu.

Derajat Kepekaan Atau Dominansi/Ranking Elemen-Elemen Sistem Irigasi Subak Teknologi adalah alat untuk mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien (Gie, l982). Sebagai suatu alat, maka teknologi tentu memerlukan persyaratan tertentu untuk dapat dimanfaatkan secara optimal. Demikian pula halnya dengan sistem subak yang dipandang sebagai suatu teknologi.Sistem subak memerlukan persyaratan tertentu untuk dapat ditransformasi, dan kemudian dapat dimanfaatkan secara optimal. Persyaratan tersebut berdasarkan pada fenomena eksistensi sistem subak yang dipandang sebagai sistem teknologi yang telah menjadi kebudayaan masyarakat. Berkait dengan hal tersebut, dibuatlah matrik hubungan antara sistem teknologi dan sistem kebudayaan.
Setiap matrik, berisi elemen-elemen matrik, yang akhirnya elemen-elemen matrik itu dapat dilihat derajat kepekaannya/dominansinya/ rankingnya, dengan metode Fuzzy Set Theory.  
Hasil dari analisis ini adalah untuk menunjukkan elemen-elemen yang merupakan elemen yang paling dominan sampai selanjutnya pada elemen yang paling tidak dominan, dari setiap matrik hubungan sistem teknologi dan sistem kebudayaan tersebut. Dengan demikian, pada saatnya  akan dapat dilihat bahwa untuk setiap subak sampel yang akan ditransformasi, akan ditemukan ranking elemen-elemen matrik.  Selanjutnya, bila dikaji lebih jauh, yakni dengan melihat beberapa elemen yang paling dominan pada setiap matrik, tampaknya ada dinamika  pemikiran  yang berkembang pada sistem subak di Bali yang menuju ke arah hal-hal yang bersifat pragmatis. 
Sementara itu, dalam kaitan dengan kemampuan sistem subak untuk mengantisipasi problem kekurangan air irigasi pada musim kemarau, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem subak ada kemampuan untuk mengantisipasi problem tersebut, dengan mengatur pola tanam sesuai peluang keberhasilannya. Kemampuan ini nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa sistem subak sebagai suatu teknologi yang sepadan, mampu mengelola air irigasinya dengan cara-cara harmoni dan kebersamaan, demi kesejahteraan petani anggotanya.
Saat Penerapan Sistem Irigasi
Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini.
Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz, sedangkan J. Stephen Lansing telah menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia mempelajari pura-pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian, yang biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.
2.2 Konsep Tri Hita Karana Dalam Pengelolaan Subak di Desa Jagaraga
            Dalam pengelolaan Irigasi Subak, masyarakat Bali mengusung konsep Tri Hita Karana (THK) yang memiliki Hubungan timbale balik antara Parahyangan yakni Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa, Pawongan Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak, Palemahan : Hubungan yang harmonis antara anggota Subak dengan lingkungan atau wilayah irigasi Subaknya.
 
Gambar. Konsep Tri Hita Karana dalam pengelolaan subak
TRI HITA KARANA yang berarti hubungan yang harmonis atau penyebab terwujudnya kesejahteraan hibup yang diwujudkan dalam bentuk :
Parahyangan
Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Pawongan
Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak.
Palemahan
Hubungan yang harmonis antara anggota Subak dengan lingkungan atau wilayah.
THK menunjukkan bahwa dengan menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem irigasi subak, maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah kordinasi akan dapat dihindari. terkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan munculnya harmoni dan kebersamaan dalam engelolaan air irigasi dalam sistem irigasi subak yang bersangkutan. Hal itu bisa terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota subak (misalnya, adanya sistem pelampias, dan sistem saling pinjam air irigasi). Di Subak Desa Jagaraga, dilakukan kebijakan sistem pelampias dengan memberikan tambahan air bagi sawah yang ada di hilir pada lokasi-lokasi bangunan-bagi lingkungan-lingkungan 4 di jaringan tersier. Besarnya pelampias tergantung dari kesepakatan anggota subak.
Perwujudan Tri Hita Karana dalam Organisasi Subak
Subak sebagai suatu sistem irigasi merupakan teknologi sepadan yang telah menyatu dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Kesepadan teknologi system subak ditunjukkan oleh anggota subak tersebut melalui pemahaman terhadap cara pemanfaatan air irigasi yang berlanadaskan Tri Hita Karana (THK) yang menyatu dengan cara membuat bangunan dan jaringan fisik irigasi, cara mengoperasikan, kordinasi pelaksanaan operasi dan pemeliharaan yang dilakukan oleh pekaseh (ketua subak), bentuk kelembagaan, dan informasi untuk pengelolaannya.
Sistem subak mampu melakukan pengelolaan irigasi dengan dasar-dasar harmoni dan kebersamaan sesuai dengan prinsip konsep THK, dan dengan dasar itu sistem subak mampu mengantisipasi kemungkinan kekurangan air (khususnya pada musim kemarau), dengan mengelola pelaksanaan pola tanam sesuai dengan peluang keberhasilannya. Selanjutnya, sistem subak sebagai teknologi sepadan, pada dasarnya memiliki peluang untuk ditransformasi, sejauh nilai-nilai kesepadanan teknologinya dipenuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar